Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis
yang memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan
perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan dan
penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx tentang
kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian ketepatan
interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia,
tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya
dari penelitian sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang
kesejajaran doktrin Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang
korelasi antara agama dan tingkah laku ekonomis. Hampir semua bukti
membantahnya.
Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang
menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini
barangkali yang mendorongnya untuk mencari sebab-sebab hubungan antar tingkah
laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa Barat yang mayoritas
memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini
sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan
kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan
hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat. Marx dalam persoalan
ini mengkhususkan perhatiannya terhadap sistem produksi dan perkembangan
teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan itu telah menimbulkan dua
kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang-orang yang
memiliki modal dan yang dengan modal yang sedemikian itu lalu menguasai
alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak memiliki
modal/alat-alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang disebutnya kaum borjuis
itu, secara terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar
yang tidak di gunakan untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang
sudah mereka miliki.
Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat
berlangsung secara bersamaan dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama
Protestan. Argumennya adalah ajaran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk
menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya dapat dicapai dengan usaha
dan kerja keras dari individu itu sendiri.
Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana
dan melarang segala bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya.
Akibat ajaran Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena
keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan,
melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti itulah,
kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber.
Tindakan, Kelas, dan Status Sosial
Sosiologi menurut Weber adalah suatu ilmu yang
mempelajari tindakan sosial. Tidak semua tindakan manusia dapat dianggap
sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial
apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain
dan berorientasi pada perilaku orang lain.
Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang
mempunyai makna subjektif bagi pelakunya. Sosiologi bertujuan untuk memahami
(verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai arah dan akibat tertentu,
sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subjektif bagi pelakunya, maka ahli
sosiologi yang hendak melakukan penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna
subjektif suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat
pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya. Hanya dengan menempatkan diri
di tempat seorang pekerja seks atau mucikari misalnya, seorang ahli sosiologi
dapat memahami makna subjektif tindakan sosial mereka, memahami mengapa
tindakan sosial tersebut dilakukan serta dampak dari tindakan tersebut.
Weber mendefinisikan kelas sebagai sekelompok orang.
Pandangan lain menyatakan bahwa kelas tidak hanya menyangkut orang-orang
tertentu yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, tetapi mencakup pula
keluarga mereka. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kedudukan seorang anggota
keluarga dalam suatu kelas terkait dengan kedudukan anggota keluarga lain.
Kadang-kadang seorang anggota keluarga dapat memperoleh status yang sama atau
bahkan melebihi status yang semula diduduki kepala keluarga. Karena adanya
keterkaitan status seorang anggota keluarga dengan status anggota yang lain
maka bilamana status kepala keluarga naik, status keluarga akan ikut naik.
Sebaliknya penurunan status kepala keluarga akan menurunkan pula status
keluarganya.
Secara ideal sistem kelas merupakan suatu sistem stratifikasi
terbuka karena status di dalamnya dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam
kenyataan sering terlihat bahwa sistem kelas mempunyai ciri sistem tertutup,
seperti misalnya endogami kelas. Pergaulan dan pernikahan, misalnya lebih
sering terjadi antara orang-orang yang kelasnya sama dari pada dengan orang dan
kelas lebih rendah atau lebih tinggi
Simmel, yang mengawali studinya di Universitas
Berlin pada tahun 1876, lulus doktor filsafat tahun 1881 dengan disertasi yang
berjudul The Nature of Matter According to Kant’s Physical Monadology. Ia tidak
pernah menjadi dosen tetap di universitas di Jerman, namun berbagai tulisannya
yang brilian sangat mempengaruhi perkembangan sosiologi. Di Jerman, Simmel
berupaya menanamkan dasar-dasar sosiologinya di mana ia berhadapan dengan
konsep sosiologi yang positivistik yang dikembangkan oleh Comte, serta teori
evolusi yang dikembangkan oleh Spencer. Dalam mengembangkan konsep
sosiologinya, Simmel merujuk kepada doktrin-doktrin atomisme logis yang
dikemukakan oleh Fechner di mana masyarakat lebih merupakan sebuah interaksi
individu-individu dan bukan merupakan sebuah interaksi substansial. Dengan
demikian, sosiologi memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan berbagai konsep
dan individu-individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya
berfungsi sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, dalam skala yang paling luas,
justru ditemukan di dalam individu-individu yang melakukan interaksi. Bagi
Simmel, sosiologi haruslah diarahkan untuk merujuk kepada konsep utamanya yang
mencakup bentuk-bentuk sosiasi dari yang paling umum sampai yang paling
spesifik. Bila kita dapat menunjukkan totalitas berbagai bentuk hubungan sosial
dalam berbagai tingkatan dan keragaman, maka kita akan memiliki pengetahuan
yang lengkap mengenai ‘masyarakat’. Simmel yang berupaya keras untuk memisahkan
sosiologi dari psikologi menganggap bahwa perlakuan ilmiah atas data psikis,
tidak secara otomatis menjadi data psikologis manakala suatu realitas dari
studi ilmiah ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai konsep yang berbeda. Di sini,
struktur-struktur yang spesifik di dalam kehidupan sosio-kultural yang sangat
kompleks harus dihubungkan kembali, tidak saja dengan berbagai interaksi sosial
tetapi juga dengan berbagai pernyataan psikologis. Jadi, sosiologi harus
membatasi diri dari hal-hal yang bermakna psikologis. Sosiologi harus jauh
melampui pemikiran-pemikiran yang bermakna psikologis dengan melakukan
abstraksi-abstraksinya sendiri.
Teori yang dikemukakan Simmel mengenai realitas
sosial terlihat dari konsepnya yang menggambarkan adanya empat tingkatan yang
sangat mendasar. Pertama, asumsi-asumsinya yang merujuk kepada konsep-konsep
yang sifatnya makro dan menyangkut komponen-komponen psikologis dari kehidupan
sosial. Kedua, dalam skala luas, mengungkap masalah-masalah yang menyangkut
berbagai elemen sosiologis terkait dengan hubungan yang bersifat
inter-personal. Ketiga, adalah konsep-konsepnya mengenai berbagai struktur dan
perubahan-perubahan yang terjadi dan terkait dengan apa yang dinamakannya
sebagai spirit (jiwa, ruh, substansi), yaitu suatu esensi dari konsep
sosio-kultural. Keempat, yaitu penyatuan dari ketiga unsur di atas yang
melibatkan prinsip-prinsip kehidupan metafisis individu maupun kelompok.
Menurut Simmel, ada tiga elemen yang masing-masing
‘menempati’ wilayahnya sendiri di dalam sosiologi yang terkait dengan
tingkatan-tingkatan realitas sosial. Elemen pertama adalah apa yang
dijelaskannya sebagai sosiologi murni (pure sociology), di mana
variabel-variabel psikologis dikombinasikan dengan bentuk-bentuk interaksi.
Konsepnya yang dianggap bersifat mikro adalah yang menyangkut bentuk-bentuk
(forms) di mana interaksi yang terjadi di dalamnya melibatkan berbagai tipe
(types) dan ini menyangkut individu yang terlibat di dalam interaksi itu.
Elemen kedua adalah sosiologinya yang bersifat umum dan terkait dengan
produk-produk sosio-kultural dari sejarah manusia. Sedangkan elemen ketiga
adalah konsepnya mengenai sosiologi filsafat yang terkait dengan
pandangan-pandangannya menyangkut konsepsi dasariah (hukum) alam serta takdir
manusia. Untuk mengatasi masalah-masalah interrelasi di antara tiga tingkatan
dari realitas sosial itu, Simmel melakukan pendekatan dialektik seperti yang
terdapat di dalam ajarannya Marx, meskipun tujuannya berbeda. Dengan pendekatan
ini, Simmel berupaya menyatukan fakta dan nilai, menolak ide-ide yang
memisahkan antara berbagai fenomena sosial, memfokuskan pada kurun waktu masa
lalu dan masa yang akan datang, serta sangat memperhatikan konflik dan
kontradiksi. Simmel mewujudkan komitmen atas konsep-konsepnya melalui cara
(berpikir) dialektis, dengan selalu mengkaji berbagai hubungan yang ada, dan
selalu merujuk kepada konsep dualisme yang menggambarkan konflik dan
kontradiksi.
No comments:
Post a Comment